Hampang Datu

 Konon, pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah desa di wilayah Kalimantan Selatan, yang bernama Desa Padang Batung. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Hasil pertanian yang mereka peroleh cukup melimpah. Untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan tersebut, maka setahun sekali yaitu setiap selesai panen mereka selalu mengadakan kenduri besar sebagai bagian dari upacara manyanggar banua (bersih desa). Pada hakekatnya, puncak acara dalam upacara itu adalah upacara adat selamatan atau kendurian. Setiap keluarga di desa itu menyiapkan beraneka ragam makanan dan minuman untuk mereka makan bersama-sama.

Pada suatu ketika, di salah satu rumah warga terjadi peristiwa yang aneh. Menjelang subuh, sejumlah ikan dan kue yang sudah dimasak hilang dari tempat penyimpanannya. Sambal yang tersisa bagai diacak-acak berhamburan di ruang dapur. Dua panci besar daging rusa yang sudah dipersiapkan juga tidak tersisa sedikit pun. Seluruh anggota keluarga dalam rumah itu dibangunkan. Setelah ditanya, tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyentuh makanan itu sebelumnya.

Menjelang pagi, di rumah tetanggannya terdengar suara ribut-ribut. Ternyata, mereka juga mengalami peristiwa yang serupa. Penduduk desa pun geger. Selama bertahun-tahun mereka melakukan upacara manyanggar banua itu, inilah kali pertama mereka mengalami peristiwa seperti itu. Pada awalnya, setiap warga saling mencurigai antara satu dengan yang lainnya. Namun, pada akhirnya kecurigaan mereka menjadi tidak beralasan, karena mereka mengalami peristiwa yang sama. Untuk itu, Kepala Desa dan para sesepuh desa mengumpulkan seluruh warganya untuk mengadakan musyawarah di Balai Desa.

“Saya tidak yakin jika yang melakukan hal itu adalah warga di desa ini,” sahut seorang warga dalam pertemuan itu.

“Benar apa yang kamu katakan itu. Kelihatannya, semua warga desa kita ini baik-baik. Saya juga tidak pernah mendapat laporan bahwa warga kita berseteru dengan warga desa tetangga,” tambah Kepala Desa.

“Lalu, siapa orang yang berani mengganggu ketenteraman desa kita?” tanya salah seorang warga yang bertubuh kekar sambil tangannya menepuk-nepuk kumpang parang bungkul yang menggantung di pinggangnya.

“Sebut saja siapa dan di mana rumahnya! Akan kutunjukkan padanya bahwa di desa ini ada warga yang siap mengadu raga untuk mempertahankan kehormatan desanya,” ujar laki-laki kekar itu dengan mata terbakar.

“Ini sebuah tantangan! Aku juga terpanggil untuk membela kehormatan desa kita,” seorang warga yang berdiri paling belakang turut membuka suara.

Suasana dalam pertemuan itu semakin memanas. Beberapa warga mulai emosi.

Dalam suasana demikian, tiba-tiba terdengar suara yang tidak terlalu nyaring, tetapi cukup jelas didengar oleh semua yang hadir.

“Sudahlah!” seru seorang sesepuh yang sangat disegani di desa itu. Semua mata terpusat kepadanya. Suasana pun kembali dingin.

“Andai saja perbuatan kurang ajar ini dikerjakan oleh satu orang, tentu ia sangat digjaya. Bayangkan! Lebih dari empat puluh rumah ia acak-acak dan ia kentuti. Tidak ada satu pun dari kita yang bangun, apalagi memergokinya,” ujar orang tua itu dengan tenang.

Pernyataan orang tua itu, kembali membakar emosi salah seorang warga,

“Aku tidak perduli dengan kedigjayaannya, meskipun berkumis kawat sekalipun, bila belum berhadapan denganku, tidak akan kuterima perlakuan ini.”

“Jadi, maksud saudara kita akan menyerang dia?” tanya si Laki-laki kekar. “Jika begitu, akan kuundang semua laki-laki berkemampuan untuk… ,” kata laki-laki itu belum selesai bicara.

“Untuk menyerang? Siapa yang akan kalian serang?” potong si Orang Tua.
Sorot matanya yang tajam menebar ke semua yang hadir. Hadirin pun terdiam, termasuk si Laki-laki kekar. Kemudian Orang Tua itu melanjutkan,

“Kita belum mengenali siapa sebenarnya orang yang telah menebarkan permusuhan dengan kita. Curiga boleh-boleh saja. Sebaiknya mulai malam ini kita berjaga-jaga di pusat desa,” orang tua itu mengusulkan.

Semua warga menerima usulan itu, termasuk Kepala Desa. Sementara upacara manyanggar banua ditunda hingga esok hari. Menjelang malam, seluruh pemuda desa mendirikan pos jaga di sudut-sudut desa untuk menghadang si pengacau. Ibu-ibu sibuk memasak apa adanya di dapur. Malam pun semakin larut. Setelah semua makanan matang, mereka pun beristirahat.

Menjelang subuh, tiba-tiba para ibu berhamburan keluar rumah. Mereka kembali mengalami peristiwa yang sama seperti subuh sebelumnya. Warga desa kembali geger. Seluruh warga berkumpul di depan rumah Kepala Desa. Mereka yang berjaga di pos mengaku tidak melihat makhluk yang mencurigakan masuk ke desa mereka.

“Wahai, wargaku! Upacara manyanggar banua kita undur lagi sampai desa kita kembali aman,” ujar Kepala Desa kepada warganya.

“Aku setuju,” sahut sesepuh desa. “Namun yang lebih penting dari itu adalah menemukan siapa orang atau makhluk apa yang telah mempecundangi desa kita,” tambahnya.

“Bila demikian, penjagaan kita perketat lagi” sambung Kepala Desa.

“Maaf, Pak Kepala Desa. Apakah saya boleh usul!” sahut seorang ibu rumah tangga.

“Ya, silahkan!” jawab Kepada Desa.

“Begini, Pak. Bagaimana kalau kita menjebak Pencuri itu. Saya beranggapan bahwa maling yang telah mencuri sesajen kita bukanlah manusia biasa. Dia adalah sejenis makhluk gaib yang hidup di lingkungan kita. Dia merasa terabaikan, sehingga tidak mengherankan jika dia membuat ulah seperti ini,” jelas ibu itu.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kepala Desa tidak sabar.

“Di masing-masing rumah, barangkali masih ada daging kelapa yang tersisa,” kata ibu itu.

“Tentu…!” jawab ibu-ibu lainnya yang hadir di tempat itu.

“Tapi, buat apa?” tanya seorang ibu penasaran.

“Daging kelapa yang sudah diparut, masukkan ke dalam bakul rumpung yang di bagian bawahnya diberi lubang. Ikat bagian atasnya, kemudian letakkan di tengah ruang dapur sebagaimana layaknya kita menyimpan sesajen. Kemudian tinggalkan seperti sesajen! Setelah itu kita istarahat saja,” jelas ibu rumah tangga itu.

Mendengar penjelasan itu, seluruh warga mengangguk-angguk sebagai tanda setuju. Malam harinya, mereka melaksanakan rencana tersebut sesuai dengan penjelasan si Ibu. Setelah itu mereka tidur nyenyak. Keesokan harinya, di pagi yang dingin semua warga bergegas ke dapur.

Benar kata ibu itu, bakul yang berisi parutan kelapa sudah tidak ada lagi. Setiap rumah mengalami hal sama. Mereka hanya menemukan ceceran parutan kelapa yang membentuk garis mengikuti arah si pencuri melalui pintu belakang. Hal itu memudahkan warga untuk melacak jejak ke mana si pencuri itu pergi. Mereka terus mengikuti garis parutan kelapa yang membentang ke arah persembunyian si pencuri. Banyak warga yang tidak sabar ingin melampiaskan kemarahan mereka. Parang dan tombak tergenggam erat di tangan mereka.

Setelah beberapa jauh mengikuti alur garis itu, sampailah mereka pada mulut sebuah gua di ujung desa. Warga pun yakin bahwa pencuri itu bersembunyi dalam gua itu. Keyakinan tersebut dikuatkan oleh ceceran parutan kelapa yang mulai terputus-putus di mulut gua. Parang dan tombak semakin erat di genggaman mereka, siap untuk digunakan jika sewaktu-waktu diperlukan. Beberapa warga sudah beranjak masuk ke dalam mulut gua. Namun, mereka kembali keluar, karena di dalam gua gelap sekali.

Sebagian warga disuruh kembali untuk mencari obor. Sebagian yang lain tetap bersiaga di mulut gua, kalau-kalau tiba-tiba ada serangan dari dalam gua.

“Sudahlah! Kita hentikan saja perburuan ini untuk menghindari jatuhnya korban,” ujar sesepuh desa.

“Mungkin si pencuri sesajen kita adalah makhluk gaib yang disebut-sebut sebagai datu-datu penjaga lingkungan kita. Barangkali kita lalai menjaga lingkungan,” tambahnya. “Lalu, apa yang akan kita lakukan?” tanya Kepala Desa.

“Agar datu yang menghuni gua ini tidak mengganggu kita lagi, saya minta saudara-saudara untuk membuat hampang, yaitu menutup gua ini dengan menancapkan batang bambu, kemudian menutup gua dengan rapat-rapat,” jelas sesepuh desa.

Seluruh warga setuju dengan usulan itu. Setelah itu, mereka segera meramu batang bambu, kemudian ditancapkan membentuk sebuah hampang untuk menutupi mulut gua.

Batu-batu besar digelindingkan ke mulut gua, kemudian ditimbun dengan tanah. Maka terkuburlah makhluk gaib itu di dalam gua.

Desa Padang Batung pun kembali aman, damai dan sentosa. Sejak itu, makhluk itu tidak pernah lagi datang mengusik ketenangan warga. Untuk mengenang peristiwa yang menakutkan yang pernah berlangsung, oleh masyarakat setempat, tempat tersebut diberi nama Hampang Datu.